Kamis, 22 November 2012
Matahari bersinar terik
saat ribuan orang berdesak-desakan di sepanjang Jalan Malioboro. Mereka tidak
hanya berdiri di trotoar namun meluber hingga badan jalan. Suasana begitu gaduh
dan riuh. Tawa yang membuncah, jerit klakson mobil, alunan gamelan kaset, hingga
teriakan pedagang yang menjajakan makanan dan mainan anak-anak berbaur menjadi
satu. Setelah menunggu berjam-jam, akhirnya rombongan kirab yang ditunggu pun
muncul. Diawali oleh Bregada Prajurit Lombok Abang, iring-iringan kereta
kencana mulai berjalan pelan. Kilatan blitz kamera dan gemuruh tepuk tangan
menyambut saat pasangan pengantin lewat. Semua berdesakan ingin menyakasikan
pasangan GKR Bendara dan KPH Yudhanegara yang terus melambaikan tangan dan
menebarkan senyum ramah.
Itulah
pemandangan yang terlihat saat rombongan kirab pawiwahan ageng putri bungsu Sultan Hamengku Buwono X
lewat dari Keraton Yogyakarta menuju Bangsal Kepatihan. Ribuan orang berjejalan
memenuhi Jalan Malioboro yang membentang dari utara ke selatan. Dalam bahasa
Sansekerta, malioboro berarti jalan karangan bunga karena pada zaman dulu
ketika Keraton mengadakan acara, jalan sepanjang 1 km ini akan dipenuhi
karangan bunga. Meski waktu terus bergulir dan jaman telah berubah, posisi
Malioboro sebagai jalan utama tempat dilangsungkannya aneka kirab dan perayaan
tidak pernah berubah. Hingga saat ini Malioboro, Benteng Vredeburg, dan Titik
Nol masih menjadi tempat dilangsungkannya beragam karnaval mulai dari gelaran
Jogja Java Carnival, Pekan Budaya Tionghoa, Festival Kesenian Yogyakarta,
Karnaval Malioboro, dan masih banyak lainnya.
Sebelum berubah menjadi jalanan yang ramai, Malioboro hanyalah ruas jalan yang
sepi dengan pohon asam tumbuh di kanan dan kirinya. Jalan ini hanya dilewati
oleh masyarakat yang hendak ke Keraton atau kompleks kawasan Indische pertama
di Jogja seperti Loji Besar (Benteng Vredeburg), Loji Kecil (kawasan di sebelah
Gedung Agung), Loji Kebon (Gedung Agung), maupun Loji Setan (Kantor DPRD).
Namun keberadaan Pasar Gede atau Pasar Beringharjo di sisi selatan serta adanya
permukiman etnis Tionghoa di daerah Ketandan lambat laun mendongkrak
perekonomian di kawasan tersebut. Kelompok Tionghoa menjadikan Malioboro
sebagai kanal bisnisnya, sehingga kawasan perdagangan yang awalnya berpusat di
Beringharjo dan Pecinan akhirnya meluas ke arah utara hingga Stasiun Tugu.
Melihat Malioboro yang berkembang pesat menjadi denyut nadi
perdagangan dan pusat belanja, seorang kawan berujar bahwa Malioboro merupakan baby talk dari "mari yok borong". Di
Malioboro Anda bisa memborong aneka barang yang diinginkan mulai dari pernik
cantik, cinderamata unik, batik klasik, emas dan permata hingga peralatan rumah
tangga. Bagi penggemar cinderamata, Malioboro menjadi surga perburuan yang
asyik. Berjalan kaki di bahu jalan sambil menawar aneka barang yang dijual oleh
pedagang kaki lima akan menjadi pengalaman tersendiri. Aneka cinderamata buatan
lokal seperti batik, hiasan rotan, perak, kerajinan bambu, wayang kulit,
blangkon, miniatur kendaraan tradisional, asesoris, hingga gantungan kunci
semua bisa ditemukan dengan mudah. Jika pandai menawar, barang-barang tersebut
bisa dibawa pulang dengan harga yang terbilang murah.
Selain menjadi pusat perdagangan, jalan yang merupakan bagian
dari sumbu imajiner yang menghubungkan Pantai Parangtritis, Panggung Krapyak,
Kraton Yogyakarta, Tugu, dan Gunung Merapi ini pernah menjadi sarang serta
panggung pertunjukan para seniman Malioboro pimpinan Umbu Landu Paranggi. Dari
mereka pulalah budaya duduk lesehan di trotoar dipopulerkan yang akhirnya
mengakar dan sangat identik dengan Malioboro. Menikmati makan malam yang
romantis di warung lesehan sembari mendengarkan pengamen jalanan mendendangkan
lagu "Yogyakarta" milik Kla Project akan menjadi pengalaman yang
sangat membekas di hati.
Malioboro adalah rangkaian sejarah, kisah, dan kenangan yang
saling berkelindan di tiap benak orang yang pernah menyambanginya. Pesona jalan
ini tak pernah pudar oleh jaman. Eksotisme Malioboro terus berpendar hingga
kini dan menginspirasi banyak orang, serta memaksa mereka untuk terus kembali
ke Yogyakarta. Seperti kalimat awal yang ada dalam sajak Melodia karya Umbu
Landu Paranggi "Cintalah yang membuat diriku betah sesekali
bertahan", kenangan dan kecintaan banyak orang terhadap Malioboro lah yang
membuat ruas jalan ini terus bertahan hingga kini.
Keterangan: Karnaval dan acara yang
berlangsung di Kawasan Malioboro biasanya bersifat insidental dengan waktu
pelaksanaan yang tidak menentu. Namun ada beberapa kegiatan yang rutin
diselenggarakan setiap tahun seperti Jogja Java Carnival yang selalu
dilaksanakan tiap bulan Oktober, Festival Kesenian Yogyakarta pada bulan Juni
hingga Juli, serta Pekan Kebudayaan Tionghoa yang dilaksanakan berdekatan
dengan perayaan tahun baru China (Imlek).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: