Sabtu, 10 Oktober 2015
PERKEMBANGAN
MORAL DAN SPIRITUAL PESERTA DIDIK
KELOMPOK
12
TINA HIMAS
KUSUMANINGRUM 06031381419058
CHINDY YUNITA IRAWAN 06031381419059
DOSEN PENGAMPU :
AZIZAH, S.Pd M.Pd
PENDIDIKAN
EKONOMI
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
SRIWIJAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pendidikan
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam kehidupan, dimana aspek
yang menjadi subjek sekaligus objek yang penting dalam hal ini adalah peserta
didik. Pendidikan yang diberikan tidak hanya dalam lingkup akademik namun
mendidik disini dimaksudkan untuk membentuk kepribadian yang sesuai dengan
norma hukum dan agama. Setiap peserta didik bersifat khas dan unik karena
setiap peserta didik berbeda-beda.
Dalam
pendidikan dan pembelajaran diperlukan suatu pengetahuan akan
perkembangan-perkembangan yang terjadi pada peserta didik. Dimana aspek-aspek
perkembangan peserta didik cukup banyak seperti perkembangan fisik,
perkembangan intelektual, perkembangan moral, perkembangan spiritual atau
kesadaran beragama dal lain sebagainya. Setiap aspek-aspek tersebut dapat
dikaji berdasarkan fase-fasenya untuk membantu dalam memahami cara belajar dan
tentunya sikap maupun tingkah laku peserta didik. Selain itu, aspek
pembelajaran yang diberikan kepada para peserta didik juga berupa pendidikan
moral dan spirituall untuk membentuk pribadi-pribadi yang sesuai dengan harapan
bangsa yang dituliskan pada tujuan pendidikan bangsa Indonesia.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang, terbentuk beberapa rumusan masalah sebagai berikut:
·
Apa yang dimaksud
dengan perkembangan moral dan spiritual?
·
Apa teori-teori yang
mendasari perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
·
Bagaimana proses
perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
·
Apa faktor-faktor yang
mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual pada peserta didik?
·
Bagaimana implikasi
atau dampak perkembangan moral dan spiritual peserta didik terhadap pendidikan?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Secara
etimologi istilah moral berasal dari bahasa Latin mos, moris (adat, istiadat,
kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan,
tabiat, watak, akhlak). Sedangkan moralitas merupakan kemauan untuk menerima
dan melakukan peraturan, nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral. Nilai-nilai
moral ini antara lain, seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, atau
larangan untuk tidak berbuat kejahatan kepada orang lain. Jadi dapat
disimpulkan bahwa moral merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas
baik-buruk dengan landasan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Seseorang
dikatakan bermoral apabila ia mempunyai pertimbangan baik dan buruk yang
ditunjukkan melalui tingkah lakunya yang sesuai dengan adat dan sopan santun.
Sebaliknya seseorang dikatakan memiliki perilaku tak bermoral apabila
perilakunya tidak sesuai dengan harapan sosial yang disebabkan dengan
ketidaksetujuan dengan standar sosial atau kurang adanya perasaan wajib
menyesuaikan diri. Selain itu ada perilaku amoral atau nonmoral yang merupakan
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan sosial yang lebih disebabkan karena
ketidak acuhan terhadap harapan kelompok sosial dari pada pelanggaran sengaja
terhadap standar kelompok.
Perkembangan
moral adalah perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai apa yang
seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Santrock, 2002). Perkembangan moral juga merupakan perubahan-perubahan
perilaku yang terjadi dalam kehidupan anak berkenaan dengan tata cara,
kebiasaan, adat, atau standar nilai yang berlaku dalam kelompok sosial.
Anak-anak ketika dilahirkan tidak memiliki moral (imoral) akan tetapi dalam
dirinya terdapat potensi moral yang siap untuk dikembangkan. Melalui
pengalamannya berinteraksi dengan orang lain (orang tua, saudara, teman sebaya
atau guru), anak belajar memahami tingkah laku mana yang buruk atau tidak boleh
dilakukan dan mana yang baik atau boleh dilakukan sehingga terjadi perkembangan
moral anak tersebut.
Pengertian Spiritual dan
Perkembangan Spiritual
Spiritual
berasal dari bahasa latin “spiritus” yang berarti nafas atau udara, spirit
memberikan hidup, menjiwai seseorang. Mempunyai kepercayaan atau keyakinan
berarti mempercayai atau mempunyai komitmen terhadap sesuatu atau seseorang.
Konsep kepercayaan mempunyai dua pengertian. Pertama kepercayaan didefinisikan
sebagai kultur atau budaya dan lembaga keagamaan seperti Islam, Kristen, Budha,
dan lain-lain. Kedua, kepercayaan didefinisikan sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan Ketuhanan, Kekuatan tertinggi, orang yang mempunyai wewenang
atau kuasaa, sesuatu perasaan yang memberikan alasan tentang keyakinan
(believe) dan keyakinan sepenuhnya (action), harapan (hope).
Definisi
spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman
hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan
suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan antara diri
sendiri), interpersonal (hubungan antara orang lain dengan lingkungan) dan
transpersonal (hubungan yang tidak dapat dilihat yaitu suatu hubungan dengan
ketuhanan yang merupakan kekuatan tertinggi). Jadi spiritual merupakan
kepercayaan peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat
istiadat maupun ketuhanan.
Perkembangan spiritual lebih
spesifik membahas tentang kebutuhan manusia terhadap agama. Agama adalah
sebagai sistem organisasi kepercayaan dan peribadatan dimana seseorang bisa
mengungkapkan dengan jelas secara lahiriah mengenai spiritualitasnya.
Perkembangan spiritual diartikan sebagai tahap dimana seseorang yang dalam hal
ini adalah peserta didik untuk membentuk kepercayaannya. Baik berupa
kepercayaan yang berhubungan dengan religi maupun adat.
B.
Teori-Teori
dari Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Teori perkembangan moral
Kohlberg
mengembangkan gagasannya mengenai perkembangan moral melalui penelitian
terhadap individu-individu dari berbagai usia. Terhadap setiap orang, ia
mengajukan ceritera dan disertai dengan pertanyaan-pertanyaan terhadap ceritera
tersebut. Mengenai perkembangan moral, dia yakin bahwa perkembangan yang baik
terjadi manakala perilaku manusia mengalami perubahan-perubahan dari perilaku
yang dikontrol secara internal oleh si pelaku moral. Ketiga tingkatan tersebut
adalah penalaran prakonvensional, penalaran konvensional, dan penalaran
postkonvensional.
·
Penalaran
prakonvensional
Pada tingkatan terendah ini individu
tidak menunjukkan adanya internalisasi nilai-nilai moral-penalaran moral
dikendalikan oleh faktor internal, yakni hadiah, pujian, tepukan bahu, atau sebaliknya
berupa cacian, makian, kritik, hukuman. Pada tingkatan yang paling dasar ini
dipilah menjadi dua tahap, yaitu:
Ø Tahap
1: punishment and obedience orientation. Pada tahap orientasi hukuman dan
kepatuhan ini pemikiran moral didasarkan pada hukuman. Contohnya, seorang
menjadi berperilaku patuh karena takut kalau-kalau hukuman menimpa dirinya.
Ø Tahap
2: Individualism and purpose. Pada tahap ini perkembangan moral lebih berdasar
pada hadiah dan minat pribadi anak atau remaja. Anak atau remaja menjadi patuh
karena dia berharap akan mendapatkan sesuatu yang menyenangkan setelah dia
menjalankan perilaku patuh.
·
Penalaran konvensional
Pada
tingkatan ini individu melakukan kepatuhan berdasarkan standar pribadi yang
diperoleh atau yang diinternalisasi dari lingkungan ata orang lain. Pada
tingkatan kedua ini dipilah menjadi dua tahap:
Ø Tahap
3 : Interpersonal norm.
Pada tahap norma interpersonal ini, anak beranggapan bahwa rasa percaya, rasa
kasih sayang, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai dasar untuk melakukan
penilaian terhadap perilaku moral. Agar anak dikatakan sebagai anak yang baik,
maka anak mengambil standar moral yang diberlakukan oleh orang tuanya. Dengan
demikian, hubungan antara anak dan orang tua tetap terjaga dalam suasana penuh
kasih sayang.
Ø Tahap
4 : social system
morality. Pada tahap keempat ini ukuran moralitas didasarkan pada sistem sosial
yang berlaku saat itu. Artinya, kehidupan masyrakat didasarkan pada aturan
hukum yang dibuat dengan maksud melindungi semua warga di dalam komunitas
tertentu. Jadi pada tahap perkembangan moral didasrkan pada pemahaman terhadap
aturan, hukum, keadilan, dan tugas sosial kemasyarakatan.
·
Penalaran
postkonvensional
Tingkatan tertinggi dari perkembangan
moral adalah diinternalisasikannya standar moral sepenuhnya dalam diri individu
tanpa didasarkan pada standar orang lain. Pada tingkatan tertinggi ini dibagi
menjadi dua tahap:
Ø Tahap
5 :
community rights vs individual rights. Pada tahap ini, perkembangan moral
mengarah ke pemahaman bahwa nilai dan hukum bersifat relatif. Sementara itu
nilai yang dimiliki orang satu berbeda dari orang yang lainnya.
Ø Tahap
6: Universal ethical principles. Tahapan tertinggi dari perkembangan moral
adalah seseorang sudah mampu membentuk standar moral sendiri berdasar pada
hak-hak manusia yang bersifat universal. Walaupun mengandung resiko, orang pada
tahap ini berani mengambil suatu tindakan berdasar kata hatinya sendiri, bahkan
bertentangan dengan hukum sekalipun.
Teori perkembangan spiritual
Perkembangan
spiritual didasarkan pada ayat-ayat alquran dan hadist yang menjelaskan tentang
fitrah beragama. Dalam perkembangannya, firtrah beragama ini ada yang berjalan
secara alamiah dan ada juga yang mendapat bimbingan dari para rasul Allah SWT,
sehingga fitrahnya itu berkembang sesuai kehendak Allah SWT. Keyakinan bahwa
manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan didasarkan pada
firman Allah:
1. Surat
Al-‘araf ayat 172 yang artinya:
“dan
ingatlah ketika tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):
‘bukankah aku ini tuhanmu?’ mereka menjawab: ‘betul (engkau tuhan kami). Kami
menjadi saksi (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat tidak
mengatakan, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang lengah terhadap ini
(keesaan tuhan).”
2. Surat ar-rum ayat 30, yang artinya:
“maka
hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama allah, (tetaplah atas) fitrah
allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan
pada fitrah Allah. Ituah agam lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.”
3. Surat
Asy-syamsu ayat 8 yang artinya:
“maka
allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya.”
Fitrah
beragama ini merupakan disposisi (kemampuan dasar) yang mengandung kemungkinan
atau berpeluang untuk berkembang. Namun, mengenai arah dan kualitas
perkembangan beragama anak sangat bergantung kepada proses pendidikan yang
diterimanya. Hal ini sebagaimana yang telah dinyatakan oleh nabi Muhammad Saw:
“setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, hanya karena keadaan
orangtuanyalah, anak itu menjadi yahudi, nasrani atau majusi.” Hadis ini
mengisyaratkan bahwa faktor lingkungan (terutama orangtua) sangat berperan
dalam mempengaruhi perkembangan fitrah keberagamaan anak. Jiwa beragama merujuk
kepada aspek rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang
direfleksikan ke dalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat habluminallah
dan hablumminannas.
C.
Proses
Perkembangan Moral dan Spiritual pada Peserta Didik
Setiap
aspek perkembangan peserta didik memiliki tahapan atau proses hingga mencapai
suatu tahapan atau tingkatan yang matang. Perkembangan moral pada peserta didik
dapat berlangsung melalui beberapa cara yaitu:
1. Pendidikan langsung,
melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan salah, atau
baik dan buruk oleh orangtua, guru atau orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam
pendidikan moral ini, adalah keteladanan dari orangtua, guru atau orang dewasa
lainnya dalam melakukan nilai-nilai moral.
2. Identifikasi,
dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral
seseorang yang menjadi idolanya (seperti orang tua, guru, artis atau orang
dewasa lainnya).
3. Proses coba-coba (trial
& error), dengan cara mengembangkan tingkah laku
moral secara coba-coba. Jika tingkah
laku tersebut mendatangkan pujian atau penghargaan maka akan terus
dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaan maka
akan dihentikan. (Yusuf, 2011).
Selain
itu, berdasarkan hasil penyelidikan Kohlberg mengemukakan 6 tahap (stadium)
perkembangan moral yang berlaku secara universal dan dalam urutan tertentu.
Masing-masing tingkat terdiri dari 2 tahap, sehingga keseluruhan ada 6 tahapan
yang berkembang secara bertingkat dengan urutan yang tetap. Dalam stadium nol,
anak menganggap baik apa yang sesuai dengan permintaan dan keinginannya.
Ada
3 tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg, yaitu tingkat :
·
Prakonvensional
Pada stadium 1,
anak berorientasi kepada kepatuhan dan hukuman. Anak menganggap baik atau buruk
atas dasar akibat yang ditimbulkannya. Anak hanya mengetahui bahwa
aturan-aturan ditentukan oleh adanya kekuasaan yang tidak bisa diganggu gugat.
Ia harus menurut atau kalau tidak, akan memperoleh hukuman.
Pada stadium 2,
berlaku prinsip Relaivistik-Hedonism.
Pada tahap ini, anak tidak lagi secara mutlak tergantung kepada aturan
yang ada di luar dirinya, atau ditentukan oleh orang lain, tetapi mereka sadar
bahwa setiap kejadian mempunyai berbagai segi. Jadi, ada Relativisme.
Relativisme ini artinya bergantung pada kebutuhan dan kesanggupan sesorang.
Misalnya mencuri kambing karena kelaparan. Karena perbuatan “mencuri” untuk
memenuhi kebutuhanya, maka mencuri dianggap sebagai perbuatan yang bermoral,
meskipun perbuatan mencuri itu diketahui sebagai perbuatan yang salah karena
ada akibatnya, yaitu hukuman.
·
Konvensional
Stadium 3,
meliputi orientasi mengenai anak yang baik. Pada stadium ini, anak mulai
memasuki umur belasan tahun, dimana anak memperlihatkan orientasi
perbuatan-perbuatan yang dapat dinilai baik oleh orang lain dan masyarakat
adalah sumber yang menentukan, apakah perbuatan sesorang baik atau tidak.
Menjadi “anak yang manis” masih sangat penting dalam stadium ini.
Stadium 4,
yaitu tahap mempertahankan norma-norma sosial dari otoritas. Pada stadium ini
perbuatan baik yang diperlihatkan seseorang bukan hanya agar dapat diterima
oleh lingkungan masyarakatnya, melainkan bertujuan agar dapat ikut
mempertahankan aturan-aturan atau norma-norma sosial. Jadi perbuatan baik
merupakan kewajiban untuk ikut melaksanakan aturan-aturan yang ada, agar tidak
timbul kekacauan (Baharuddin, 2009).
·
Pasca-konvensional
Stadium 5,
merupakan tahap orientasi terhadap perjanjian antara dirinya dengan lingkungan
sosial, pada stadium ini ada hubungan timbal balik antara dirinya dengan
lingkungan sosial,atau dengan masyarakat. Seseorang harus memperlihatkan
kewajibannya, harus sesuai dengan tuntutan norma-norma sosial kerena sebaiknya,
lingkungan sosial atau masyarakat akan memberikan perlindungan kepadanya.
Stadium 6,
tahap ini disebut prinsip universal. Pada tahap ini ada norma etik disamping
norma pribadi dan subjektif. Dalam hubungan dan perjanjian antara seseorang ada
unsur subjektif yang menilai apakah
suatu perbuatan itu baik atau tidak. Dalam hal ini, unsur etika akan menentukan
apa yang boleh dan baik dilakukan atau sebaliknya (Baharuddin, 2009). Menurut
Furter (1965), menjadi remaja berarti mengerti nila-nilai. Mengerti nilai-nilai
ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat
menjelaskanya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah
dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikanya sebagai
nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan
tercemin dalam sikap dan tingkah lakunya.
D.
Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik
Berbagai
aspek perkembangan pada peserta didik dipengaruhi oleh interaksi atau gabungan
dari pengruh internal dan faktor eksternal. Begitu pula dengan perkembangan
moral dan spiritual dari peserta didik. Meskipun kedua aspek perkembangan
tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal yang hampir sama tetapi
kadar atau bentuk pengaruhnya berbeda.
Pada
perkembangan moral peserta didik faktor internal meliputi faktor genetis atau
pengaruh sifat-sifat bawaan yang ada pada diri peserta didik. Selanjutnya
sifat-sifat yang mendasari adanya perkembangan moral dikembangkan atau dibentuk
oleh lingkungan. Peserta didik akan mulai melihat dan memasukkan nilai-nilai
yang ada di lingkubgan sekitarnya baik lingkungan keluarga maupun lingkungan
masyarakat yang dapat meliputi para tetua yang mungkin menjadi teladan di
masyarakat, para tetangga, teman maupun guru yang ada di lingkungan sekolah.
Semua aspek di atas memiliki peran yang penting dalam perkembangan moral
peserta didik yang kadarnya tau besarnya pengaruh bergantung pada usia atau
kebiasaan dari peserta didik itu sendiri (Baharuddin, 2011).
Meskipun
faktor eksternal memiliki pengaruh yang cukup besar pada perkembangan moral
peserta didik, peserta didik tetap mampu menentukan hal-hal atau nilai-nilai
yang akan dianut atau digunakan sebagai pembentuk jati diri. Hal tersebut
tentunya dipengaruhi oleh pengetahuan peserta didik akan nilai-nilai moral yang
tenyunya pertama kali akan dilihat dari sosok atau jati diri orang tua.
Meskipun terkadang orang tua tidak secara formal memberikan nilai-nilai moral
tersebut, peserta didik tetap mampu menginternalisasi atau memasukkan
nilai-nilai tersebut ke dalam jati dirinya yang diwujudkan dengan sikap dan
tingkah laku peserta didik. Oleh karena itu, para sosiolog beranggapan bahwa
masyarakat sendiri mempunyai peran penting dalam pembentukan moral. Dimana
dalam usaha membentuk tingkah laku sebagai pencerminan nilai-nilai hidup
tertentu tersebut, banyak faktor yang mempengaruhinya diantaranya yaitu:
1. Tingkat
harmonisasi hubungan antara orang tua dan anak.
2. Banyak
model (orang-orang dewasa yang simpatik, teman-teman, orang-orang yang terkenal
dan hal-hal lain) yang diidentifikasi oleh anak sebagai gambaran-gambaran
ideal.
3. Lingkungan
meliputi segala segala unsur lingkungan sosial yang berpengaruh, yang tampaknya
sangat penting adalah unsur lingkungan berbentuk manusia yang langsung dikenal
atau dihadapi oleh seseorang sebagai perwujudan dari nilai-nilai tertentu.
4. Tingkat
penalaran, dimana perkembangan moral yang sifatnya penalaran menurut Kohlberg,
dipengaruhi oleh perkembangan nalar sebagaimana dikemukakan oleh piaget. Makin
tinggi tingkat penalaran seseorang menrut tahap-tahap perkembangan piaget,
makin tinggi pula tingkat moral seseorang.
5. Interaksi
sosial dalam memberik kesepakatan pada anak untuk mempelajari dan menerapkan
standart perilaku yang disetujui masyarakat, keluarga, sekolah, dan dalam pergaulan
dengan orang lain (Yusuf, 2011)
Perkembangan
spiritual juga dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal pula. Faktor
internal pada perkembangan spiritual juga berupa faktor keturunan yaitu
berupapembawaan dimana faktor ini merupakan karakteristik dari orang itu
sendiri, dasar pemikiran dari individu berdasarkan kepercayaan dan budaya yang
dimilikinya. Faktor eksternal dapat berupa keluarga yang sangat menentukan pula
dalam perkembangan spiritual anak karena orang tua memiliki peran yang sangat
penting sebagai pendidik atau penentu keyakinan yang mendasari anak. Kemudian
pendidikan keagamaan yang diterapkan di sekolah juga dapat menjadi faktor
penentu perkembangan spiritual anak, karena dengan adanya pendidikan anak akan
mulai berpikir secara logika dan menentukan apa yang baik dan tidak bagi
dirinya dan kelak akan menjadi karakter dari peserta didik. Selain itu, adanya
budaya yang berkembang di masyarakat akan mempengaruhi perkembangan spiritual
peserta didik pula. Baik perkembangan yang menuju arah yang baik (positif) atau
menuju ke arah yang buruk (negatif), itu
semua tergantung pada bagaimana cara anak berinteraksi dengan masyarakat
tersebut (Baharuddin, 2009).
E.
Dampak
Perkembangan Moral dan Spiritual Peserta Didik pada Pendidikan
Manusia
pada umumnya berkembang sesuai dengan tahapan-tahapannya. Ketika individu
memasuki usia sekolah, yakni antara tujuh sampai dengan dua belas tahun,
individu tersebut disebut sebagai peserta didik yang akan berhubungan dengan
proses pembelajaran dalam suatu sistem pendidikan.
Cara
pembelajaran yang diharapkan harus sesuai dengan tahapan perkembangan anak,
yakni memiliki karakteristik sebagai berikut:
1) Programnya disusun
secara fleksibel dan tidak kaku serta memperhatikan perbedaan individual anak.
2) Tidak dilakukan secara
monoton, tetapi disajikan secara variatif melalui banyak aktivitas.
3) Melibatkan penggunaan
berbagai media dan sumber belajar sehingga memungkinkan anak terlibat secara
penuh dengan menggunakan berbagai proses perkembangannya (Syamsuddin, 2007).
Aspek-aspek
perkembangan peserta didik yang berimplikasi terhadap proses pendidikan melalui
karakteristik perkembangan moral dan religi akan diuraikan seperti di bawah
ini.
1. Implikasi
Perkembangan Moral
Purwanto (2006) berpendapat bahwa moral
bukan hanya memiliki arti bertingkah laku sopan santun, bertindak dengan lemah
lembut, dan berbakti kepada orang tua saja, melainkan lebih luas lagi dari itu.
Selalu berkata jujur, bertindak konsekuen, bertanggung jawab, cinta bangsa dan
sesama manusia, mengabdi kepada rakyat dan negara, berkemauan keras,
berperasaan halus, dan sebagainya, termasuk pula ke dalam moral yang perlu
dikembangkan dan ditanamkan dalam hati sanubari anak-anak. Adapun perkembangan
moral menurut Santrock yaitu perkembangan yang berkaitan dengan aturan mengenai
hal yang seharusnya dilakukan oleh manusia dalam interaksinya dengan orang lain
(Desmita, 2008).
Perkembangan moral anak dapat
berlangsung melalui beberapa cara, salah satunya melalui pendidikan langsung.
Pendidikan langsung yaitu melalui penanaman pengertian tentang tingkah laku
yang benar-salah atau baik-buruk oleh orang tua dan gurunya. Selanjutnya pada
usia sekolah dasar anak sudah dapat mengikuti tuntutan dari orang tua atau
lingkungan sosialnya. Pada akhir usia ini, anak dapat memahami alasan yang
mendasari suatu bentuk perilaku dengan konsep baik-buruk. Misalnya, dia
memandang bahwa perbuatan nakal, berdusta, dan tidak hormat kepada orang tua
merupakan suatu hal yang buruk. Sedangkan perbuatan jujur, adil, dan sikap
hormat kepada orang tua merupakan suatu hal yang baik. (Yusuf, 2011).
Selain itu berdasarkan teori Piaget
(Hurlock, 1980) memaparkan bahwa pada usia lima sampai dengan dua belas tahun
konsep anak mengenai moral sudah berubah. Pengertian yang kaku dan keras
tentang benar dan salah yang dipelajari dari orang tua, menjadi berubah dan
anak mulai memperhitungkan keadaan-keadaan khusus di sekitar pelanggaran moral.
Misalnya bagi anak usia lima tahun, berbohong selalu buruk. Sedangkan anak yang
lebih besar sadar bahwa dalam beberapa situasi, berbohong dibenarkan. Oleh
karena itu, berbohong tidak selalu buruk.
Selain lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan juga menjadi sarana yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan
moral peserta didik. Untuk itu, sekolah diharapkan dapat berfungsi sebagai
kawasan yang sejuk untuk melakukan sosialisasi bagi anak-anak dalam
pengembangan moral dan segala aspek kepribadiannya. Pelaksanaan pendidikan
moral di kelas hendaknya dihubungkan dengan kehidupan yang ada di luar kelas.
Dengan demikian, pembinaan perkembangan moral peserta didik sangat penting
karena percuma saja jika mendidik anak-anak hanya untuk menjadi orang yang
berilmu pengetahuan, tetapi jiwa dan wataknya tidak dibangun dan dibina
(Hartono, 2002).
2. Implikasi
Perkembangan Spiritual
Anak-anak sebenarnya telah memiliki
dasar-dasar kemampuan spiritual yang dibawanya sejak lahir. Untuk mengembangkan
kemampuan ini, pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting. Oleh karena
itu, untuk melahirkan manusia yang ber-SQ tinggi dibutuhkan pendidikan yang
tidak hanya berorientasi pada perkembangan aspek IQ saja, melainkan EQ dan SQ
juga.
Zohar dan Marshall (Desmita, 2008)
pertama kali meneliti secara ilmiah tentang kecerdasan spiritual, yaitu
kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yang
menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan
kaya.
Purwanto (2006) mengemukakan bahwa
pendidikan yang dilakukan terhadap manusia berbeda dengan “pendidikan” yang
dilakukan terhadap binatang. Menurutnya, pendidikan pada manusia tidak terletak
pada perkembangan biologis saja, yaitu yang berhubungan dengan perkembangan
jasmani. Akan tetapi, pendidikan pada manusia harus diperhitungkan pula
perkembangan rohaninya. Itulah kelebihan manusia yang diberikan oleh Allah SWT
sebagai tuhan semesta alam, yaitu dianugerahi fitrah (perasaan dan kemampuan)
untuk mengenal penciptanya, yang membedakan antara manusia dengan binatang.
Fitrah ini berkaitan dengan aspek spiritual.
Perkembangan spiritual membawa banyak
implikasi terhadap pendidikan dan diharapkan muncul manusia yang benar-benar
utuh dari lembaga-lembaga pendidikan. Untuk itu, pendidikan agama nampaknya
harus tetap dipertahankan sebagai bagian penting dari program-program
pendidikan yang diberikan di sekolah dasar. Tanpa melalui pendidikan agama,
mustahil SQ dapat berkembang baik dalam diri peserta didik (AKBIN, 2010).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan
bahwa,
1. Moral
merupakan tingkah laku manusia yang berdasarkan atas baik-buruk dengan landasan
nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Spiritual merupakan kepercayaan
peserta didik terhadap suatu keyakinan yang didasarkan pada adat istiadat
maupun ketuhanan.
2. Teori
perkembangan moral menurut Kohlberg terdapat tiga tingkatan yaitu penalaran
prakonvensional, konvensional, dan postkonvensional. Setiap tingkatan dibagi
menjadi dua tahap. Teori perkembangan spiritual didasarkan pada ayat-ayat
alquran dan hadits yang menjelaskan tentang fitrah beragama.
3. Tahapan
perkembangan moral.
4. Faktor
yang mempengaruhi perkembangan moral dan spiritual meliputi faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal
meliputi sifat atau pembawaan dari diri sendiri, dalam perkembangan moral
berupa sifat-sifat yang diturunkan dan pada perkembangan spiritual berupa
keyakinan. Faktor eksternal meliput keluarga, masyarakat sekitar, sekolah, dan
tentunya budaya.
DAFTAR RUJUKAN
Baharuddin.
2009. Pendidikan dan Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Baharuddin.
2009. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Desmita.
2010. PSikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Hartono,
Agung. 2002. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rineka Cipta
Pengurus
Besar Asosisi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN). 2010. Jurnal Bimbingan
dan Konseling ISSN 1411-5026. Bandung: AKBIN
Syamsuddin,
Abin. 2007. Psikologi Kependidikan. Bandung: Rosda Karya
Yusuf,
Syamsu. 2011. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Rajawali Pers
Hurlock,
Elisabeth B. 1991. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan. Diterjemahan oleh Istiwidayanti, dkk. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Santrock,
J. W. 2002. Life-Span Development. Perkembangan Masa Hidup.Diterjemahkan oleh
Juda Damanik, Achmad Chusairi. Jakarta: Erlangga
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar: